Selasa, 05 Februari 2013

FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONISME

FILSAFAT  PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONISME
  
Latar Belakang Kemunculan Filsafat Rekontruksionisme
      Kemunculan filsafat Rekontruksionisme ini berangkat dari kondisi masyarakat Amerika pada khususnya dan masyarakat industri pada umumnya, yang semakin meninggalkan sebuah tatanan dunia yang diidam-idamkan. Perkembangan ilmu, teknologi dan industrialisasi pada satu sisi memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan, akan tetapi disisi lain ia telah menimbulkan pengaruh-pengaruh yang negatif. Masyarakat yang tenang, tentram, damai, pelan-pelan
telah tergiring pada keterasingan. Ada yang menganggap, kondisi ini karena adanya sifat loises faire, kompetisi yang terlalu berlebihan sehingga bermuara pada pemenuhan kepentingan individual dari pada kepentingan sosial, pada masyarakat Amerika. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan di bidang ekonomi, yang semula berbentuk individual interprenurship dirubah kearah coorperative yang bersendikan konsep kerja sama kolektif. Konsep ini, kemudian mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik. Keadaan ini, meyakinkan para pemikir pendidikan bahwa pendidikan perlu mempunyai konsep dan peran yang positif dalam mengadakan rekontruksi masyarakat. Dan masyarakat yang direkontruksi ini, hendaknya lebih mengutamakan kebersamaan dari pada kepentingan-kepentingan individu.

Pengertian filsafat pendidikan rekonstruksionisme 
  
            Kata rekonstruksionisme dalam bahasa ingris reconstruct yang berarti menyusun kembali. dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekontruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Yaitu melakukan perombakan dan menyusun kembali pola-pola lama menjadi pola-pola baru yang lebih meodern.

            Rekontruksionisme sebagai sebuah sistem pendidikan, berawal dari terbitnya buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul Rekcontruction in Philosophy. Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg pada tahun 1930-an, melalui keinginan mereka untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai media rekonstruksi terhadap masyarakat. Pada tahun 1932, George Counts (1889 – 1974) mengkritik praktik-praktik sekolah yang telah mengabdikan ketidaksamaan-ketidaksamaan yang mencolok berdasarkan ras, kelas, dan etnik. Ia menegaskan bahwa skolah-sekolah menengah umum telah menjadi milik orang-orang berkelas sosial tinggi dan keluarga yang berkecukupan. 
             Melalui tulisannya yang berjudul Dare the School Build a New Social Order?, ia lalu mencoba mempertanyakan bagaimana sistem sosial dan ekonomi masyarakat pada saat itu, telah menjadi persoalan yang cukup mendasar bagi masyarakat. Maka pendidikan menurutnya, harus menjadi agen perubahan bagi rekontruksi sosial. Ia juga menkritik model pendidikan Progresifisme yang telah gagal mengembangkan sebuah teori kesejahteraan sosial dan bahkan ia menegaskan bahwa pendidikan yang berpusat pada anak (the child centered approach) tidak menjamin bagi terciptanya ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi abad ke-20.


Teori pendidikan rekonstruksionisme  

Teori pendidikan rekonstruksionisme yang dikemukakan oleh brameld terdiri dari Enam tesis,yaitu; 
1. Pendidikan harus dilaksanakan disini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai- nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan–kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern. sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus meseponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia.oleh karena itu, kekuatan tehnologi yang sangat kuat harus dimamfaatkan untuk membangun ummat manusia ,bukan untuk menghancurkannya. Masyarakat harus diubah bukan melalui tidakan politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui pendidikan bagi warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan mereka bersama.
2. Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati, dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.semua yang mempengaruhi harapan dan hajat masyarakat seperti, sandang, pangan, papan, kesehatan, industri dan sebagainya, semuanya akan menjadi tanggung jawab rakyat, melalui wakil-wakil yang dipilih. Masyarakat ideal adalah masyarakat yang demokrasi. struktur, tujuan, dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan tata aturan baru harus diakui merupakan bagian dari pendapat masyarakat.
3. Anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial. Menurut rekonstruksionisme, hidup beradap adalah hidup berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting disekolah. Pendidikan merupakan realisasi dari sosial (social self realization). Melalui pendidikan indifidu tidak hanya mengembangkan aspek-aspek sifat sosialnya melaikan juga belajar bagaimana keterlibatannya dalam perencanaan sosial. Sehingga dari sini kita bisa lihat bahwa rekontruksi tidak mengabaikan masyarakat yang sangat berperan dalam membentuk individu.
4. Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana yaitu dengan memperhatikan prosedur yang demokratis.guru harus mengadakan pengujian secara terbuka terhadap fakta- fakta, walaupun bertentangan dengan pandangannya. Guru mendatangkan beberapa pemecahan alternative dengan jelas, dan ia memperkenankan siswa-siswanya untuk memprtahankan pandangan-pandangan mereka sendiri.
5. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan –kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Yang penting dari sains sosial adalah mendorong kita untuk menemukan nilai- nilai, dimana manusia peercaya atau tidak bahwa nilai- nilai itu bersifat universal.
6. Kita harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang dipakai,struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.semua itu harus dibangun kembali bersesuaian dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia secara rasional dan ilmiah. Kita harus menyusun kurikulum dimana pokok- pokok dan bagiannya dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu sekuensi komponen pengetahuan.
  1. Pandangan-pandangan tentang rekontruksionisme
1. Pandangan Ontology
Dengan antologi dapat mengetahui tentang bagaimana hakekat dari segala sesuatu, Aliran rekonsrtuksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada dimana dan sama disetiap tempat. Menurut Noor Syam. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari sesuatu yang kongkrit dan menuju kearah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagai mana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti hewan,dan tumbuhan atau benda lain disekeliling kita ,dan realita yang kita ketahui dan kita hadapi tidak terlepas dari suatu system, selain subtansi yang dipunyai dari tiap- tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
2. Pandangan Epistimologis
kajian epistimologis aliran ini berpijak pada pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azaz tahu, dalam arti bahwa tidak mungkin memahami reaalita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebuh dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya baik indra maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh panca indra menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
3. Pandangan Ontologis
Barnadib mengungkapkan bahwa aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas- azas supera natural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran ) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subyek telah mempunyai potensi- potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya.
4. Pandangan Filsafat Rekontruksionisme tentang Pengetahuan
Secara umum, filsafat Rekontruksionisme merupakan sebuah paham anti-esensialisme, yang menekankan kepada penciptaan budaya dan sejarah. Filsafat Rekontruksionisme bertentangan dengan paham universal dan penjelasan biologis terhadap obyek atau kejadian. Misalnya identitas merupakan suatu diskursus kontruksionisme yang tidak berkaitan dengan benda. Artinya, identitas bukan merupakan suatu entitas universal, melainkan merupakan suatu ciptaan kultural atau secara spesifik merupakan diskursus yang kontruktif. Bagi filsafat Rekontruksionisme, yang terpenting adalah pribadi sebagai bentukan budaya, karena pribadi terbentuk dari materi budaya, seperti bahasa dan praktik budaya lainnya dalam waktu tertentu dan tempat tertentu pula.
Sementara ia memandang pengetahuan merupakan proses menjadi, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar.Misalnya, pengetahuan siswa tentang kucing terus berkembang dari pengertian yang sederhana, tidak lengkap, dan semakin dia dewasa serta mendalami banyak hal tentang kucing, sehingga pengetahuannya tentang kucing akan semakin lengkap. Contoh lain misalnya sering terjadi seorang guru sudah berulang-ulang menjelaskan kepada muridnya suatu bahan pelajaran, namun murid tersebut salah menangkap. Fenomena ini menguatkan klaim para penganut filsafat rekonstruktivisme yang menekankan bahwa murid telah mengkonstruksi (membentuk) sendiri pengetahuan mereka.
Para penganut Rekontruksionisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada disana dan orang tinggal mengambilnya, tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari seseorang yang setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru
Kaum Rekontruksionisme menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan, orang dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mengoperasikan air, orang membentuk pengetahuan akan air. Menurut von Glaserfeld, tokoh filsafat Rekontruksionisme di AS, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang belum punya pengetahuan (murid). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada murid, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh murid sendiri dengan pengalaman mereka.
Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus lalu dapat melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi dan membangun suatu pengetahuan. Karena seseorang lebih menyukai pengalaman tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari pengetahuan yang kita konstruksikan.
Bagi kaum Rekontruksionisme, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Malah secara ekstrem mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh disebut suatu realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu objek. Bettencourt menyatakan memang rekonstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih mau menekankan bagaimana kita tahu atau menjadi tahu. Bagi rekonstruktivisme, realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan pengamat. Lalu bagaimana dengan soal kebenaran? Bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan yang kita bentuk itu benar? Rekontruksionisme meletakkan kebenaran dari pengetahuan dalam viabilitasnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan. Apakah pengetahuan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam persoalan yang berkaitan. Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan ada tarafnya, mulai dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum.
Yang membatasi konstruksi pengetahuan Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi pengetahuan kita pula. Dalam bidang pengetahuan alam, misalnya, sangat jelas peranan pengalaman dan percobaan-percobaan dalam perkembangan hukum, teori dan konsep-konsep ilmu tersebut. Konsep, gagasan, gambaran, teori dan lain-lain saling berhubungan satu dengan yang lain membentuk struktur kognitif seseorang. Oleh Toulmin struktur itu disebut ekologi konseptual. Orang cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi tersebut dengan setiap kali mencocokkan pengetahuan yang baru dengan ekologi konseptual di atas. Inilah yang juga dapat menghambat perkembangan pengetahuan   

Macam- macam Pendekatan Rekontruksionisme 
Pendektan ini juga disebut Rekontruksi Sosial karena memfokuskan kurikulum pada masalah-masalah penting yang dihadapi dalam masyarakat, seperti polusi, ledakan penduduk, dan lain-lain. Dalam gerakan rekontruksionisme terdapat dua kelompok utama yang sangat berbeda pandangan tentang kurikulum, yakni :
1. Rekontruksionisme Koservatif, Aliran ini menginginkan agar pendidikan ditujukan kepada peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat dengan mencari penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi masyarakat. Masalah-masalah dapat bersifat local dan dapat dibicarakan di SD, ada pula yang bersifat daerah, nasional, regional, dan internasional bagi pelajar SD dan Perguruan Tinggi. Dalam PBM-nya metode problem solving memegang peranan utama dengan menggunakan bahan dari berbagai disiplin ilmu. Peranan guru ialah sebagai orang yang menganjurkan perubahan (agent of change) mendorong siswa menjadi partisipan aktif dalam proses perbaikan masyarakat. Pendekatan kurikulum ini konsisten dengan falsafah pragmatisme.
2. Rekontruksionisme Radikal, pendektan ini berpendapat bahwa bnyak Negara mengadakan pembangunan dengan merugikan rakyat kecil yang miskin yang merupakan mayoritas masyarakat. Elite yang berkuasa mengadakan tekanan terhadap masa yang tak berdaya melalui system pendidikan yang diatur demi tujuan itu. Golongan radikal ini menganjurkan agar pendidikan formal maupun pendidikan non formal mengabdikan diri demi tercapinya orde social baru berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata. Mereka berpendapat bahwa kurikulum yang sekedar mencari pemecahan masalah social tidak memadai masa social justru merupakan indicator adanya masalah lain yang lebih mendalam mengenai struktur social baru. Mereka berpendapat bahwa sekolah yang dikembangkan Negara bersifat opresif dan tidak humanistic serta digunakan sebagai alat golongan elit untuk mempertahankan status quo.
Untuk pendirian saling bertentangan ini, baik yang konservatif maupun yang radikal mempunyai unsur kesamaan. Masing-masing berpendirian bahwa misi sekolah, ialah untuk mengubah dan memperbaiki masyarakat. Pemberdayaan terletak pada definisi atau tafsiran tentang “perbaikan” dan cara pendektan terhadap masalah itu. Golongan konservatif bekerja dalam rangka struktur yang ada untuk memperbaiki kualitas hidup.Mereka berasumsi bahwa masalah-masalah social adalah hasil ciptaan manusia dan karena itu dapat diatasi oleh manusia. Sebaliknya golongan radikal ingin merombak tata social yang ada dan menciptakan tata social yang baru sama sekali untuk memperbaiki system lebih efektif
E. Komponen –komponnen kurikulum rekonstruksi
1. Tujuan dan isi kurikulum
Tujuan program pendidikan setiap tahun berubah. Misalnya dalam pendidikan ekonomi –politik, pada tahun pertama tujuannya membangun kembali dunia ekonomi politik. Maka kegiatan yang dilakukan adalah;
a. Mengadakan survai secara kritis terhadap masyarakat
b. Mengadakan study tentang hubungan antara keadaan ekonomi lokal,nasional serta dunia
c. Mengadakan study tentang latar belakang historis dan kecenderungan –kecenderungan perkembangan ekonomi,hubungannya dengan ekonomi lokal
d. Mengkaji praktek politik dalam hubungannya dengan faktor ekonomi
e. Memantapkan rencana perubahan praktek politik
f. Mengevaluasi semua rencana dengan kriteria apakah telah memenuhikepentingan sebagian besar orang.
2. metode
guru berusaha membantu siswa dalam menemukan minat dan kebutuhannya. Sesuai dengan minat masing-masing siswa, baik dalam kegiatan pleno atau kelompok berusaha memecahkan masaalah sosial yang dihadapi dengan kerja sama
3. evaluasi
Dalam kegiatan evaluasi para siswa juga dilibatakan, keterlibatan mereka terutama dalm memilih, menyusun dan menilai bahan yang akan diujikan.soal yang akan diujikan dinilai terlebih dahulu baik ketepatan maupun keluasan isinya, juga keampuhan menialai pencapaian tujuan –tujuan pembangunan masyarakat yang sifatnya kualitatif. Evaluasi tidak hanya menilai apa yang dikuasi siswa, tetapi juga menilai pengaruh keggiatan sekolah terhadap masyarakat.pengaruh tersebut terutama menyangkut perkembangan masyarakat dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar