FILSAFAT
PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONISME
Latar
Belakang Kemunculan
Filsafat Rekontruksionisme
Kemunculan filsafat Rekontruksionisme ini berangkat dari kondisi masyarakat
Amerika pada khususnya dan masyarakat industri pada umumnya, yang semakin
meninggalkan sebuah tatanan dunia yang diidam-idamkan. Perkembangan ilmu,
teknologi dan industrialisasi pada satu sisi memberikan kontribusi positif bagi
peningkatan kesejahteraan, akan tetapi disisi lain ia telah menimbulkan
pengaruh-pengaruh yang negatif. Masyarakat yang tenang, tentram, damai,
pelan-pelan
telah tergiring pada keterasingan. Ada yang menganggap, kondisi ini
karena adanya sifat loises faire, kompetisi yang terlalu berlebihan sehingga
bermuara pada pemenuhan kepentingan individual dari pada kepentingan sosial,
pada masyarakat Amerika. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan-perbaikan di
bidang ekonomi, yang semula berbentuk individual interprenurship dirubah kearah
coorperative yang bersendikan konsep kerja sama kolektif. Konsep ini, kemudian
mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik. Keadaan ini,
meyakinkan para pemikir pendidikan bahwa pendidikan perlu mempunyai konsep dan
peran yang positif dalam mengadakan rekontruksi masyarakat. Dan masyarakat yang
direkontruksi ini, hendaknya lebih mengutamakan kebersamaan dari pada
kepentingan-kepentingan individu.
Pengertian filsafat
pendidikan rekonstruksionisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa
ingris reconstruct yang berarti menyusun kembali. dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekontruksionisme adalah
suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Yaitu melakukan perombakan dan menyusun kembali pola-pola lama menjadi
pola-pola baru yang lebih meodern.
Rekontruksionisme sebagai sebuah sistem pendidikan, berawal dari terbitnya
buku John Dewey pada tahun 1920, yang berjudul Rekcontruction in Philosophy.
Buku ini lalu dijadikan gerakan oleh George Counts dan Harold Rugg pada tahun
1930-an, melalui keinginan mereka untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai
media rekonstruksi terhadap masyarakat. Pada tahun 1932, George Counts (1889 –
1974) mengkritik praktik-praktik sekolah yang telah mengabdikan ketidaksamaan-ketidaksamaan
yang mencolok berdasarkan ras, kelas, dan etnik. Ia menegaskan bahwa
skolah-sekolah menengah umum telah menjadi milik orang-orang berkelas sosial
tinggi dan keluarga yang berkecukupan.
Melalui
tulisannya yang berjudul Dare the School Build a New Social Order?, ia lalu
mencoba mempertanyakan bagaimana sistem sosial dan ekonomi masyarakat pada saat
itu, telah menjadi persoalan yang cukup mendasar bagi masyarakat. Maka pendidikan menurutnya, harus menjadi agen perubahan bagi rekontruksi
sosial. Ia juga menkritik model pendidikan Progresifisme yang telah gagal
mengembangkan sebuah teori kesejahteraan sosial dan bahkan ia menegaskan bahwa
pendidikan yang berpusat pada anak (the child centered approach) tidak menjamin
bagi terciptanya ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam
menghadapi abad ke-20.
Teori pendidikan rekonstruksionisme
1. Pendidikan
harus dilaksanakan disini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai- nilai dasar budaya kita, dan selaras dengan yang
mendasari kekuatan–kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern. sekarang
peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus
meseponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia.oleh karena itu, kekuatan
tehnologi yang sangat kuat harus dimamfaatkan untuk membangun ummat manusia
,bukan untuk menghancurkannya. Masyarakat harus diubah bukan melalui tidakan
politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui pendidikan
bagi warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan kehidupan mereka
bersama.
2. Masyarakat
baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati, dimana sumber dan lembaga
utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.semua yang mempengaruhi
harapan dan hajat masyarakat seperti, sandang, pangan, papan, kesehatan,
industri dan sebagainya, semuanya akan menjadi tanggung jawab rakyat, melalui
wakil-wakil yang dipilih. Masyarakat ideal adalah masyarakat yang demokrasi.
struktur, tujuan, dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan tata aturan
baru harus diakui merupakan bagian dari pendapat masyarakat.
3. Anak, sekolah,
dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan sosial.
Menurut rekonstruksionisme, hidup beradap adalah hidup berkelompok, sehingga
kelompok akan memainkan peran yang penting disekolah. Pendidikan merupakan
realisasi dari sosial (social self realization). Melalui
pendidikan indifidu tidak hanya mengembangkan aspek-aspek sifat sosialnya
melaikan juga belajar bagaimana keterlibatannya dalam perencanaan sosial.
Sehingga dari sini kita bisa lihat bahwa rekontruksi tidak mengabaikan masyarakat
yang sangat berperan dalam membentuk individu.
4. Guru harus
meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya
dengan cara bijaksana yaitu dengan memperhatikan prosedur yang demokratis.guru
harus mengadakan pengujian secara terbuka terhadap fakta- fakta, walaupun
bertentangan dengan pandangannya. Guru mendatangkan beberapa pemecahan
alternative dengan jelas, dan ia memperkenankan siswa-siswanya untuk
memprtahankan pandangan-pandangan mereka sendiri.
5. Cara dan
tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan
kebutuhan –kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk
menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Yang penting dari sains sosial
adalah mendorong kita untuk menemukan nilai- nilai, dimana manusia peercaya
atau tidak bahwa nilai- nilai itu bersifat universal.
6. Kita harus
meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran, metode yang
dipakai,struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.semua itu harus
dibangun kembali bersesuaian dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia
secara rasional dan ilmiah. Kita harus menyusun kurikulum dimana pokok- pokok
dan bagiannya dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu
sekuensi komponen pengetahuan.
- Pandangan-pandangan tentang rekontruksionisme
1. Pandangan
Ontology
Dengan antologi dapat mengetahui tentang bagaimana hakekat dari segala
sesuatu, Aliran rekonsrtuksionisme memandang bahwa realita itu bersifat
universal, yang mana realita itu ada dimana dan sama disetiap tempat. Menurut
Noor Syam. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari sesuatu yang kongkrit dan menuju
kearah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagai mana yang kita
lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti hewan,dan
tumbuhan atau benda lain
disekeliling kita ,dan realita yang kita ketahui dan kita hadapi tidak terlepas
dari suatu system, selain subtansi yang dipunyai dari
tiap- tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
2. Pandangan
Epistimologis
kajian
epistimologis aliran ini berpijak pada pola pemikiran bahwa untuk memahami
realita alam nyata memerlukan suatu azaz tahu, dalam arti bahwa tidak mungkin
memahami reaalita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan
realita terlebuh dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan.
Karenanya baik indra maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan,
dan akal dibawa oleh panca indra menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
3. Pandangan
Ontologis
Barnadib
mengungkapkan bahwa aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai
berdasarkan azas- azas supera natural yakni menerima nilai natural yang
universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia
adalah emanasi (pancaran ) yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh
tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat
diketahuinya. Kemudian manusia sebagai subyek telah mempunyai potensi- potensi
kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya.
4. Pandangan Filsafat Rekontruksionisme tentang Pengetahuan
Secara umum, filsafat Rekontruksionisme merupakan sebuah paham
anti-esensialisme, yang menekankan kepada penciptaan budaya dan sejarah.
Filsafat Rekontruksionisme bertentangan dengan paham universal dan penjelasan
biologis terhadap obyek atau kejadian. Misalnya identitas merupakan suatu
diskursus kontruksionisme yang tidak berkaitan dengan benda. Artinya, identitas
bukan merupakan suatu entitas universal, melainkan merupakan suatu ciptaan
kultural atau secara spesifik merupakan diskursus yang kontruktif. Bagi
filsafat Rekontruksionisme, yang terpenting adalah pribadi sebagai bentukan
budaya, karena pribadi terbentuk dari materi budaya, seperti bahasa dan praktik
budaya lainnya dalam waktu tertentu dan tempat tertentu pula.
Sementara ia memandang pengetahuan merupakan proses menjadi, yang
pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar.Misalnya, pengetahuan siswa tentang
kucing terus berkembang dari pengertian yang sederhana, tidak lengkap, dan
semakin dia dewasa serta mendalami banyak hal tentang kucing, sehingga
pengetahuannya tentang kucing akan semakin lengkap. Contoh lain misalnya sering
terjadi seorang guru sudah berulang-ulang menjelaskan kepada muridnya suatu
bahan pelajaran, namun murid tersebut salah menangkap. Fenomena ini menguatkan
klaim para penganut filsafat rekonstruktivisme yang menekankan bahwa murid
telah mengkonstruksi (membentuk) sendiri pengetahuan mereka.
Para penganut Rekontruksionisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah
merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah
kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi merupakan
konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya.
Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada disana dan orang tinggal
mengambilnya, tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari seseorang yang
setiap kali mengadakan reorganisasi karena munculnya pemahaman yang baru
Kaum Rekontruksionisme menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu
dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya melalui
proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan, orang dapat
mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air,
mengoperasikan air, orang membentuk pengetahuan akan air. Menurut von
Glaserfeld, tokoh filsafat Rekontruksionisme di AS, pengetahuan bukanlah suatu
barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan
(guru) ke pikiran orang yang belum punya pengetahuan (murid). Bahkan bila guru
bermaksud untuk mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada murid,
pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh murid sendiri
dengan pengalaman mereka.
Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses
pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan
kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman
yang satu daripada yang lain. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali
pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan
pengalaman-pengalaman tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk
dapat menarik sesuatu sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus
lalu dapat melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi
dan membangun suatu pengetahuan. Karena seseorang lebih menyukai pengalaman
tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari pengetahuan yang
kita konstruksikan.
Bagi kaum Rekontruksionisme, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis.
Malah secara ekstrem mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti realitas
(kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh disebut suatu
realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu objek. Bettencourt
menyatakan memang rekonstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih
mau menekankan bagaimana kita tahu atau menjadi tahu. Bagi rekonstruktivisme,
realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan pengamat. Lalu bagaimana dengan
soal kebenaran? Bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan yang kita bentuk itu
benar? Rekontruksionisme meletakkan kebenaran dari pengetahuan dalam
viabilitasnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam penggunaan.
Apakah pengetahuan itu dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam persoalan
yang berkaitan. Semakin dalam dan luas suatu pengetahuan dapat digunakan,
semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini maka pengetahuan ada tarafnya,
mulai dari yang berlaku secara terbatas sampai yang lebih umum.
Yang membatasi konstruksi pengetahuan Bettencourt menyebutkan beberapa hal
yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang
lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita.
Proses dan hasil konstruksi pengetahuan kita yang lalu menjadi pembatas
konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman akan fenomena yang baru
menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan pengembangan pengetahuan, dan
keterbatasan pengalaman akan membatasi pengetahuan kita pula. Dalam bidang
pengetahuan alam, misalnya, sangat jelas peranan pengalaman dan percobaan-percobaan
dalam perkembangan hukum, teori dan konsep-konsep ilmu tersebut. Konsep,
gagasan, gambaran, teori dan lain-lain saling berhubungan satu dengan yang lain
membentuk struktur kognitif seseorang. Oleh Toulmin struktur itu disebut
ekologi konseptual. Orang cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi tersebut
dengan setiap kali mencocokkan pengetahuan yang baru dengan ekologi konseptual
di atas. Inilah yang juga dapat menghambat perkembangan pengetahuan
Macam- macam Pendekatan Rekontruksionisme
Pendektan
ini juga disebut Rekontruksi Sosial karena memfokuskan kurikulum pada
masalah-masalah penting yang dihadapi dalam masyarakat, seperti polusi, ledakan
penduduk, dan lain-lain. Dalam gerakan rekontruksionisme terdapat dua kelompok
utama yang sangat berbeda pandangan tentang kurikulum, yakni :
1. Rekontruksionisme Koservatif, Aliran ini menginginkan
agar pendidikan ditujukan kepada peningkatan mutu kehidupan individu maupun
masyarakat dengan mencari penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak
yang dihadapi masyarakat. Masalah-masalah dapat bersifat local dan dapat
dibicarakan di SD, ada pula yang bersifat daerah, nasional, regional, dan
internasional bagi pelajar SD dan Perguruan Tinggi. Dalam PBM-nya metode problem solving memegang peranan utama dengan
menggunakan bahan dari berbagai disiplin ilmu. Peranan guru ialah sebagai orang
yang menganjurkan perubahan (agent of change) mendorong siswa menjadi
partisipan aktif dalam proses perbaikan masyarakat. Pendekatan kurikulum ini
konsisten dengan falsafah pragmatisme.
2. Rekontruksionisme
Radikal, pendektan ini berpendapat bahwa bnyak Negara mengadakan pembangunan
dengan merugikan rakyat kecil yang miskin yang merupakan mayoritas masyarakat.
Elite yang berkuasa mengadakan tekanan terhadap masa yang tak berdaya melalui
system pendidikan yang diatur demi tujuan itu. Golongan radikal ini
menganjurkan agar pendidikan formal maupun pendidikan non formal mengabdikan
diri demi tercapinya orde social baru berdasarkan pembagian kekuasaan dan
kekayaan yang lebih adil dan merata. Mereka berpendapat bahwa kurikulum yang
sekedar mencari pemecahan masalah social tidak memadai masa social justru
merupakan indicator adanya masalah lain yang lebih mendalam mengenai struktur
social baru. Mereka berpendapat bahwa sekolah yang dikembangkan Negara bersifat
opresif dan tidak humanistic serta digunakan sebagai alat golongan elit untuk
mempertahankan status quo.
Untuk pendirian saling bertentangan ini, baik yang konservatif maupun yang
radikal mempunyai unsur kesamaan. Masing-masing berpendirian bahwa misi
sekolah, ialah untuk mengubah dan memperbaiki masyarakat. Pemberdayaan terletak
pada definisi atau tafsiran tentang “perbaikan” dan cara pendektan terhadap
masalah itu. Golongan konservatif bekerja dalam rangka struktur yang ada untuk
memperbaiki kualitas hidup.Mereka berasumsi bahwa masalah-masalah social adalah
hasil ciptaan manusia dan karena itu dapat diatasi oleh manusia. Sebaliknya
golongan radikal ingin merombak tata social yang ada dan menciptakan tata
social yang baru sama sekali untuk memperbaiki system lebih efektif
E. Komponen
–komponnen kurikulum rekonstruksi
1. Tujuan dan isi
kurikulum
Tujuan program pendidikan setiap tahun berubah.
Misalnya dalam pendidikan ekonomi –politik, pada tahun pertama tujuannya
membangun kembali dunia ekonomi politik. Maka kegiatan yang dilakukan adalah;
a. Mengadakan
survai secara kritis terhadap masyarakat
b. Mengadakan
study tentang hubungan antara keadaan ekonomi lokal,nasional serta dunia
c. Mengadakan
study tentang latar belakang historis dan kecenderungan –kecenderungan
perkembangan ekonomi,hubungannya dengan ekonomi lokal
d. Mengkaji
praktek politik dalam hubungannya dengan faktor ekonomi
e. Memantapkan
rencana perubahan praktek politik
f. Mengevaluasi
semua rencana dengan kriteria apakah telah memenuhikepentingan sebagian besar
orang.
2. metode
guru berusaha membantu siswa dalam menemukan minat dan kebutuhannya. Sesuai
dengan minat masing-masing siswa, baik dalam kegiatan pleno atau kelompok
berusaha memecahkan masaalah sosial yang dihadapi dengan kerja sama
3. evaluasi
Dalam kegiatan evaluasi para siswa juga dilibatakan, keterlibatan mereka
terutama dalm memilih, menyusun dan menilai bahan yang akan diujikan.soal yang
akan diujikan dinilai terlebih dahulu baik ketepatan maupun keluasan isinya,
juga keampuhan menialai pencapaian tujuan –tujuan pembangunan masyarakat yang
sifatnya kualitatif. Evaluasi tidak hanya menilai apa yang dikuasi siswa,
tetapi juga menilai pengaruh keggiatan sekolah terhadap masyarakat.pengaruh
tersebut terutama menyangkut perkembangan masyarakat dan peningkatan taraf
kehidupan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar